Minggu, 15 Agustus 2010

Apa itu bid'ah...?

MAKNA BID’AH MENURUT IMAM ASY-SYATHIBI

Kemudian, apakah makna bid’ah? Dan, apa pengertian bid’ah yang dinilai oleh Nabi saw. sebagai kesesatan dalam agama?

Bid’ah, seperti yang didefinisikan oleh Imam asy Syathibi’, adalah “cara beragama yang dibuat-buat, yang meniru syariat, yang dimaksudkan dengan melakukan hal itu sebagai cara berlebihan dalam beribadah kepada Allah SWT”. Ini merupakan definisi bid’ah yang paling tepat, mendetail, dan mencakup serta meliputi seluruh aspek bid’ah.

MEDAN OPERASIONAL BID’AH ADALAH AGAMA

Dari definisi tadi dapat dipetakan bahwa medan operasional bid’ah adalah agama. Ia adalah “tindakan mengada-ada dalam beragama”. Dalil pernyataan ini adalah sabda Rasulullah saw., “Siapa yang menciptakan hal baru dalam ajaran agama kita yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak.”

Dalam riwayat yang lain, “Siapa yang menciptakan hal baru dalam urusan (ajaran agama) kita, yang bukan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak.” Artinya, dikembalikan kepada pelakunya, sebagaimana halnya uang palsu yang tidak diterima untuk dijadikan sebagai alat jual-beli, dan ia dikembalikan kepada pemiliknya. Hadits ini juga dinilai oleh para ulama sebagai salah satu pokok agama Islam. Ia adalah bagian dari seri empat puluh hadits Nawawi yang terkenal itu (Hadits Arba’in, ed.).

Para ulama berkata bahwa ada dua hadits yang saling melengkapi satu sama lain;

Pertama, hadits yang amat penting karena ia adalah timbangan bagi perkara yang batin, yaitu hadits, “Sesungguhnya keabsahan segala amal ibadah ditentukan oleh niat.”

Kedua, hadits yang juga amat penting karena ia adalah timbangan bagi perkara yang zahir, yaitu makna yang dikandung oleh hadits ini, “Siapa yang menciptakan hal baru dalam ajaran agama kita yang bukan merupakan bagian darinya, maka perbuatannya itu tertolak.”

Agar amal ibadah seseorang diterima oleh Allah SWT, harus dipenuhi dua hal ini:

1. Meniatkan amal perbuatannya semata demi Allah SWT, dan
2. Amal ibadahnya itu dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat.

Oleh karena itu, saat Imam al-Fudhail bin Iyadh, seorang faqih yang zaahid ‘orang yang zuhud’ (para zaahid generasi pertama adalah para fuqaha), ditanya tentang firman Allah SWT, “… supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya…. “(al-Mulk:2); Amal ibadah apakah yang paling baik? Ia menjawab, “Yaitu amal ibadah yang paling ikhlas dan paling benar.” Ia kembali ditanya, “Wahai Abu Ali (al-Fudhail bin Iyadh), apa yang dimaksud dengan amal ibadah yang paling ikhlas dan paling benar itu?” Ia menjawab, “Suatu amal ibadah, meskipun dikerjakan dengan ikhlas, namun tidak benar maka amal itu tidak diterima oleh Allah SWT. Kemudian, meskipun amal ibadah itu benar, namun dikerjakan dengan tidak ikhlas, juga tidak diterima oleh Allah SWT. Amal ibadah baru diterima apabila dikerjakan dengan ikhlas dan dengan benar pula. Yang dimaksud dengan ‘ikhlas’ adalah dikerjakan semata untuk Allah SWT, dan yang dimaksud dengan ‘benar’ adalah dikerjakan sesuai dengan tuntunan Sunnah.”

Dengan demikian, perbuatan bid’ah hanya terjadi dalam bidang agama. Oleh karena itu, salah besar orang yang menyangka bahwa perbuatan bid’ah juga dapat terjadi dalam perkara-perkara adat kebiasaan sehari-hari. Karena, hal-hal yang biasa kita jalani dalam keseharian kita, tidak termasuk dalam medan operasional bid’ah. Sehingga, tidak mungkin dikatakan “masalah ini (salah satu masalah kehidupan sehari-hari) adalah bid’ah karena kaum salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in tidak melakukannya”. Bisa jadi hal itu adalah sesuatu yang baru, namun tidak dapat dinilai sebagai bid’ah dalam agama.

Karena jika tidak demikian, niscaya kita akan memasukkan banyak sekali hal-hal baru yang kita pergunakan sekarang ini sebagai bid’ah: seperti mikropon, karpet, meja, dan bangku yang kalian duduki, semua itu tidak dilakukan oleh oleh generasi Islam yang pertama, juga tidak dilakukan oleh sahabat, apakah hal itu dapat dinilai sebagai bid’ah?

Oleh karena itu, ada orang yang bersikap salah dalam masalah ini sehingga jika melihat ada mimbar yang anak tangganya lebih dari tiga tingkat, niscaya dia akan berkata, “ini adalah bid’ah”. Tidak, bid’ah tidak termasuk dalam masalah seperti itu. Rasulullah saw. pertama kali berkhotbah di atas pokok pohon kurma, kemudian ketika manusia bertambah banyak, ada yang mengusulkan, “Tidakkah sebaiknya kami membuat tempat berdiri yang tinggi bagi baginda sehingga orang-orang yang hadir dapat melihat baginda?” Setelah itu, didatangkan seorang tukang kayu, ada yang mengatakan ia adalah tukang yang berasal dari Romawi. Selanjutnya, si tukang kayu membuat mimbar dengan tiga tingkat. Seandainya dibutuhkan mimbar yang lebih dari tiga tingkat, niscaya ia akan membuatnya. Masalah ini tidak termasuk dalam lingkup medan operasional bid’ah.

Oleh karena itu, sangat penting sekali kita mengetahui apa yang dimaksud dengan sunnah? Dan, apa yang dimaksud dengan bid’ah?

Juga ada kesalahan sikap dalam memandang perbuatan-perbuatan Rasulullah saw.. Sebagian orang ada yang menyangka bahwa seluruh apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. adalah sunnah. Padahal, para ulama berkata bahwa perbuatan-perbuatan Nabi saw. yang termasuk sebagai sunnah hanyalah perbuatan yang ditujukan oleh beliau sebagai perbuatan ibadah.

Di antara contohnya,

Nabi saw.–pada beberapa kesempatan–melakukan shalat sunnah dua rakaat sebelum shubuh. Setelah itu, beliau berbaring dengan memiringkan tubuhnya ke samping kanan. Dari sini, ada sebagian ulama–diantaranya Ibnu Hazm–yang menyimpulkan bahwa setelah melakukan shalat sunnah dua rakaat sebelum shubuh kita harus berbaring miring di sisi kanan tubuh kita. Padahal, Aisyah r.a. berkata, “Nabi saw. berbaring seperti itu bukan untuk mencontohkan perbuatan sunnah, namun semata karena beliau lelah setelah sepanjang malam beribadah sehingga beliau perlu beristirahat sejenak.”

Dengan demikian, perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. perlu diperhatikan, apakah yang beliau lakukan itu ditujukan sebagai perbuatan ibadah atau bukan. Di sini banyak terjadi kesimpangsiuran dan kesalahpahaman, misalnya seperti yang terjadi dalam masalah tata cara makan. Sebagian orang berpendapat bahwa makan dengan sendok dan garpu, atau di meja makan, adalah perbuatan bid’ah. Ini adalah sikap yang berlebihan dan ekstrem. Karena, masalah ini adalah bagian dari kebiasaan sehari-hari yang berbeda-beda bentuknya antara satu daerah dan daerah lain, dan antara satu zaman dan zaman lainnya. Nabi saw makan dengan kebiasaan yang dilakukan oleh lingkungan beliau, terutama yang sesuai dengan sifat Rasulullah saw., yakni sifat memberikan kemudahan, tawadhu’, dan zuhud. Namun demikian, makan dengan menggunakan meja makan atau menggunakan sendok dan garpu, bukanlah sesuatu yang bid’ah. Lain halnya dengan sebagian sisi dari tata cara makan itu.

Saat Rasulullah saw. melihat seseorang makan dengan tangan kirinya, beliau bersabda kepadanya, “Makanlah dengan tangan kananmu.” Orang itu menjawab, “Aku tidak bisa.” Rasulullah saw. kembali bersabda, “Engkau pasti bisa.” Kemudian Rasulullah saw. menyumpahi orang itu sehingga ia tidak lagi dapat mengangkat tangan kanannya setelah itu. Ini menunjukkan bahwa masalah ini (makan dengan tangan kanan) amat ditekankan.

Oleh karena itu, dalam masalah seperti ini kita harus memperhatikannya dengan cermat agar mengetahui batasan dan aturan-aturannya yang terdapat dalam tuntunan Rasulullah saw.. Untuk kemudian kita usahakan untuk mengetahui mana tindakan yang ditujukan sebagai perbuatan sunnah dan sebagai bentuk beribadah kepada Allah SWT, dan mana tindakan yang bersifat sekadar kebiasaan dan alami.

Kadang-kadang Nabi saw. melakukan sesuatu seperti cara kaum beliau melakukan hal itu, beliau makan dengan cara seperti mereka makan, beliau minum dengan cara seperti mereka minum, dan beliau berpakaian dengan cara seperti mereka berpakaian. Dan, terkadang beliau melakukan sesuatu sesuai dengan kecenderungan selera beliau. Misalnya, beliau senang makan labu. Apakah kita semua harus senang makan labu? Masalah-masalah seperti ini ditentukan oleh selera masing-masing orang; ada orang yang senang sop kaki, ada yang senang sayur bayam, dan seterusnya.

Rasulullah saw. juga menyenangi daging kaki depan; apakah kita semua juga harus menyenangi daging kaki depan? Ada orang yang senang dengan daging punggung, ada yang senang dengan daging paha, dan seterusnya. Jika selera Anda kebetulan sama dengan selera Nabi saw, hal itu adalah baik dan berkah. Dan, jika ada seseorang yang berusaha sedapat mungkin mencontoh seluruh perilaku Rasulullah saw hingga pada masalah-masalah yang tidak berkaitan dengan tuntunan agama karena semata dorongan kecintaannya yang demikian besar terhadap Rasulullah saw., dan kesungguhannya untuk mencontoh segala hal yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., ini juga suatu tindakan yang terpuji, meskipun hal itu tidak dianjurkan oleh agama.

Jika ada seseorang yang berkata, “Aku ingin mencontoh segala perilaku Rasulullah saw., meskipun apa yang dilakukan oleh beliau tidak termasuk dalam tuntunan ibadah. Aku akan makan dengan bersila di lantai dan dengan menggunakan tanganku (tanpa menggunakan sendok dan garpu), seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw..” Kepada orang seperti itu kami katakan, semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan kepadamu. Kami tidak akan mengingkari tindakannya itu, dan barangkali orang itu akan mendapatkan pahala sesuai dengan niatnya.

Adalah Ibnu Umar r.a. karena kesungguhannya yang besar untuk mengikuti segala perbuatan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. dan kesempurnaan cintanya kepada beliau, ia mengikuti segala apa pun yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., meskipun hal itu tidak termasuk perbuatan ibadah atau bukan perbuatan yang diperintahkan untuk dikerjakan. Demikian juga sebagian sahabat yang lain.

Misalnya, ada seorang sahabat yang melihatnya sedang shalat dengan kancing yang terbuka; saat ia ditanya mengapa ia melakukan hal itu, ia menjawab bahwa ia melihat Rasulullah saw. melakukan perbuatan seperti itu. Padahal, barangkali Nabi saw. melakukan hal itu semata karena pada saat itu beliau sedang kegerahan atau dalam keadaan musim panas. Lantas, apakah Anda akan melakukan tindakan yang sama pula pada saat musim dingin! Itu hanyalah pendapat Ibnu Umar saja. Suatu saat Ibnu Umar sedang berada dalam perjalanan bersama rombongan, tiba-tiba ia meminggirkan kendaraannya dari jalan sehingga rombongan yang menyertainya merasa heran. Lantas, pembantunya menjelaskan bahwa ia melakukan hal itu karena dahulu ia pernah berjalan bersama Nabi saw. di tempat itu, kemudian saat tiba di tempat itu Rasulullah saw. bergerak minggir ke pinggir jalan.

Dalam salah satu perjalanan ibadah haji, ia juga pernah mengistirahatkan kendaraannya di suatu tempat dan rombongan yang menyertainya juga ikut beristirahat bersamanya. Para anggota rombongan itu bertanya-tanya, apa yang ia ingin kerjakan di tempat itu? Ternyata, ia pergi ke suatu tempat dan melaksanakan hajatnya (membuang air kecil atau besar) di tempat itu. Dan, saat ia ditanya mengapa ia melakukan hal itu, ia menjawab bahwa hal itu dilakukannya karena pada saat Nabi saw. melaksanakan ibadah haji dan sampai ke tempat ini, beliau melaksanakan hajat beliau di tempat itu.

Apakah tindakan seperti ini diperintahkan untuk dikerjakan oleh insan muslim? Tentu saja tidak, namun, perbuatan tadi adalah suatu bentuk manifestasi kesempurnaan cinta kepada Nabi saw.. Ia juga senang meletakkan untanya di tempat Rasulullah saw. meletakkan unta beliau.

Perbuatan semacam ini tidak kami cela kecuali jika orang itu mengharuskan manusia untuk melakukan tindakan seperti itu juga. Karena, perbuatan seperti itu tidak diperintahkan oleh agama. Oleh karena itu, ia harus mengetahui bahwa apa yang ia lakukan itu tidak harus dilakukan oleh manusia dan tidak wajib bagi mereka, juga bukan perbuatan yang sunnah.

Orang yang melakukan hal itu telah melakukan tindakan yang baik, namun ia menjadi salah jika ia menginginkan–atau malah memaksakan–orang lain untuk melakukan tindakan yang sama seperti yang ia lakukan, atau mengingkari dan mencela orang yang tidak melakukannya. Atau juga jika ia meyakini bahwa hal itu adalah bagian dari pokok agama, atau bagian darinya, atau menganggap orang yang meninggalkan perbuatan itu berarti telah meninggalkan sunnah. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penting bagi kita memisahkan antara sunnah yang sebenarnya dan bid’ah.

MENGAPA ISLAM BERSIKAP KERAS DALAM MASALAH BID’AH?

Mengapa Islam bersikap keras dalam masalah bid’ah, menilainya sebagai kesesatan, dan pelakunya diancam akan dimasukkan ke neraka, serta Nabi saw. memberikan peringatan yang amat keras dalam masalah ini? Berikut ini adalah alasan-alasannya.

1. PEMBUAT DAN PELAKU BID’AH MENGANGKAT DIRINYA SEBAGAI PEMBUAT SYARIAT BARU DAN SEKUTU BAGI ALLAH SWT

Islam memberikan peringatan keras terhadap masalah bid’ah ini karena (seperti telah kami singgung sebelumnya) dalam kasus seperti ini, si pembuat bid’ah bertindak seakan-akan ingin mengoreksi Rabbnya dan dia memberikan kesan kepada kita atau kepada dirinya bahwa dia mengetahui apa yang tidak diketahui oleh Allah SWT. Seakan-akan dia berkata, “Tuhanku, apa yang Engkau telah syariatkan kepada kami itu tidak cukup. Oleh karena itu, kami menambah praktek ibadah baru atas apa yang telah Engkau syariatkan itu.” Dengan demikian, ia telah menetapkan dirinya sebagai pembuat syariat dan memberikan kepada dirinya hak untuk menciptakan syariat baru. Padahal, hak membuat syariat adalah mi1ik Allah SWT semata.

Oleh karena itu, Allah berfirman, “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?…. “(asy-Syuura: 21)

Tindakan membuat syariat baru yang tidak dizinkan oleh Allah SWT adalah tindakan yang amat berbahaya. Karena, dalam kasus seperti itu, si pelakunya berarti telah mengangkat dirinya sebagai sekutu bagi Allah SWT dan memberikan hak kepada dirinya untuk menciptakan syariat baru dan berkreasi dalam agama, serta membuat tambahan dalam agama Allah SWT. Hal ini dapat menimbulkan bahaya yang amat besar dan dapat menjerumuskan seseorang menjadi musyrik kepada Allah SWT. Tindakan seperti inilah yang telah merusak agama-agama langit sebelum Islam.
Apa yang telah terjadi pada agama-agama langit sebelum Islam itu? Yaitu, terjadi bid’ah secara besar-besaran dan para pemeluk agama-agama itu memberikan kepada diri mereka hak untuk menambahkan hal-hal baru dalam agama mereka, yang secara khusus dipegang oleh para pendeta dan orang-orang alim mereka sehingga agama yang mereka anut bentuknya berubah sama sekali dari agama aslinya. Inilah yang dikecam oleh Islam dan diabadikan oleh Al-Qur’an dalam firman Allah SWT, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sehagai tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Almasih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (at-Taubah: 31)

Al-Qur’an memandang mereka sebagai orang-orang musyrik. Saat Adi bin Hatim ath-Thaai (yang sebelumnya memeluk Kristen pada masa jahiliah) bertemu Rasulullah saw., ia membaca ayat, “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah.” Dan, iapun (Adi bin Hatim ath-Thaai) berkata, “(Pada kenyataannya) mereka tidak menyembah para pendeta dan rahib itu.” Rasulullah saw. menjawab, “Benar begitu, (namun) mereka (para pendeta dan rahib itu) telah mengharamkan sesuatu yang halal bagi umatnya dan menghalalkan apa yang haram bagi mereka, dan mereka (umatnya) pun mengikuti ketetapan para pendeta dan rahib itu dengan patuh. Itulah bentuk ibadah penyembahan mereka kepada para pendeta dan rahib itu.”

Adi bin Hatim memahami ibadah dan penyembahan hanya berbentuk ritus-ritus saja: shalat, ruku, sujud, dan semacamnya. Kemudian, Nabi saw. memberikan penjelasan kepadanya bahwa bentuk penyembahan mereka itu tidak semata-mata seperti itu; ibadah dan penyembahan mempunyai makna yang lebih luas. Taat dan tunduk secara mutlak terhadap apa yang mereka (para pendeta dan para rahib) lakukan, apa yang mereka halalkan, apa yang mereka haramkan, apa yang mereka buat-buat, dalam perkara-perkara duniawi adalah bentuk penyembahan kepada mereka. Karena, status rubbubiyah ‘ketuhanan’-lah yang memiliki hak untuk menetapkan syariat, menghalalkan, dan mengharamkan. Dan, status itu pula yang memberikan-Nya hak untuk menetapkan bentuk praktek ibadah manusia kepada-Nya, sesuai yang Dia kehendaki. Tidak ada seorang pun yang mempunyai hak untuk beribadah kepada Allah SWT dengan cara yang dia kehendaki sendiri.

Dengan demikian, orang yang membuat bid’ah meletakkan dirinya seakan-akan pihak yang berwenang menetapkan hukum dan menjadi sekutu bagi Allah SWT dan dia mengoreksi apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

2. PEMBUAT BID’AH MEMANDANG AGAMA TIDAK LENGKAP DAN BERTUJUAN MELENGKAPINYA

Dari segi lain, orang yang mengerjakan bid’ah seakan-akan menganggap agama tidak lengkap, kemudian ia ingin menyempurnakan kekurangan dan ketidaksempurnaannya. Padahal, Allah SWT telah menyempurnakan agama secara lengkap, sebagai bentuk kesempurnaan nikmat yang diberikan-Nya kepada kita. Dia berfirman, “,…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu…,” (al-Maa’idah: 3)

Oleh karena itu, Ibnu Majisyun meriwayatkan dari Imam Malik (Imam Darul Hijrah) bahwa dia berkata, “Siapa yang telah membuat praktek bid’ah dalam agama Islam dan ia melihatnya sebagai suatu tindakan yang baik, berarti ia telah menuduh Nabi Muhammad saw. telah mengkhianati risalah. Karena, Allah SWT berfirman, ‘Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu.’ Jika saat itu agama Islam belum lengkap niscaya saat ini tidak ada agama Islam itu.”

Membuat bid’ah dalam agama Islam secara tidak langsung berarti telah menuduh Nabi saw. berkhianat dan tidak menyampaikan risalah agama secara lengkap. Allah SWT berfirman, “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan, jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya (al-Maa’idah: 67)

Agama Islam telah sempurna dan tidak membutuhkan tambahan lagi. Karena, sesuatu yang sudah sempurna tidak menerima adanya penambahan sama sekali. Hanya sesuatu yang tidak sempurnalah yang dapat menerima penambahan dan penyempurnaan baginya.

Oleh karena itu, para sahabat dan para imam setelah mereka, amat memerangi praktek bid’ah karena hal itu berarti menuduh agama Islam tidak lengkap, dan menuduh Rasulullah saw. telah berbuat khianat.

3. PRAKTEK BID’AH MEMPERSULIT AGAMA DAN MENGHILANGKAN SIFAT KEMUDAHANNYA

Agama yang disyariatkan oleh Allah SWT pada dasarnya bersifat mudah dan Allah SWT juga mengutus nabi-Nya dengan hanifiah samhah ‘agama yang orisinal dan mudah dijalankan’, hanif ‘orisinal’ dalam akidah, dan samhah ‘mudah dijalankan dalam pemberian beban hukum dan praktek ibadah’. Firman Allah: “…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu….” (al-Baqarah:185). Juga dalam ayat lainnya, “,…dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan,…” (al-Hajj: 78). Juga dalam hadits Nabi SAW, “Kalian diutus sebagai orang-orang yang memberikan kemudahan, bukan sebagai orang-orang yang membuat kesulitan. “

Agama Islam datang dengan sifat mudah dilaksanakan, kemudian orang-orang yang membuat praktek bid’ah mengubah sifat mudah Islam itu menjadi susah dan berat. Mereka membebani manusia dan menyulitkan mereka dengan berbagai macam praktek baru, serta menambahkan hal-hal baru dalam praktek keagamaan yang membuat manusia menjadi terbelenggu oleh beban berat. Padahal, Nabi saw. datang untuk membebaskan manusia dari belenggu dan beban yang berat itu yang dialami oleh umat sebelumnya. Seperti diterangkan tentang sifat Nabi saw. dalam kitab-kitab suci sebelumnya, Taurat dan Injil, “…dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk, dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka”. (al-A’raaf:157)

Dan, dalam doa-doa Al-Qur’an yang terdapat dalam penghujung surah al-Baqarah tertulis, “…Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami,…” (al-Baqarah: 286)

Para pembuat bid’ah itu berkeinginan mengembalikan beban-beban agama-agama langit sebelumnya ke dalam Islam dan menambahkan taklif ‘beban hukum’ yang memberatkan manusia serta menyulitkan mereka. Padahal, seungguhnya beban-beban agama Islam ini bersifat sederhana dan mudah dijalankan. Misalnya,

Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya, Allah dan malaikat-malaikat Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya,” (al-Ahzab: 56)

Dan, redaksi shalawat yang paling afdhal adalah, “Ya Allah, sampaikanlah shalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau telah sampaikan shalawat-Mu kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia. Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad, sebagaimana Engkau telah berikan keberkahan kepada Nabi Ibrahim dan keluarga Nabi Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji dan Maha Mulia.”

Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membaca shalawat dengan redaksi tadi? Mungkin hanya seperempat atau setengah menit! Namun, kemudian banyak orang yang mengarang kitab tentang redaksi-redaksi shalawat kepada Nabi saw. dan menciptakan beragam redaksi shalawat baru yang tidak diperintahkan oleh Allah SWT. Saya sering mendapati orang awam yang membaca redaksi shalawat yang beragam itu dan ternyata ia tidak memahami sama sekali apa yang ia baca itu. Demikian juga halnya dengan redaksi-redaksi doa, banyak orang yang mengarang wirid dan hizb yang beragam. Saat masih kecil, setiap kali saya berangkat ke masjid sebelum subuh, saya mendapati orang-orang awam menghafal dan membaca doa yang dikenal dengan “wirid al-Bakri”, yaitu sebuah redaksi doa yang disusun berdasarkan abjad bahasa Arab. Redaksi doa yang pertama dimulai dengan huruf hamzah, kedua dengan huruf ba, ketiga dengan huruf tsa, dan seterusnya.

Misalnya, redaksi doa yang dimulai dengan huruf ghain adalah, “Wahai Tuhanku, kekayaan Mu adalah kekayaan yang mutlak, sementara kekayaan kami adalah kekayaan yang muqayyad ‘terbatas’”. Jika Anda bertanya kepada salah seorang dari mereka yang membaca doa itu, “Apa makna mutlak dan muqayyad?” niscaya ia tidak tahu sama sekali.

Wahai saudaraku seiman, apakah ada redaksi doa yang lebih afdhal, lebih indah, dan lebih mudah dibandingkan redaksi doa Al-Qur’an dan Sunnah? Redaksi doa dari Al-Qur’an misalnya adalah, “…Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (al-Baqarah: 201)

Dan, redaksi doa dari Sunnah misalnya adalah, “Ya Allah, perbaikilah agamaku yang merupakan pegangan utama bagiku dan perbaikilah duniaku yang merupakan bekal hidupku, perbaikilah akhiratku tempat kembaliku nanti, jadikanlah hidup yang kulalui sebagai tambahan segala kebaikan yang dapat kuraih, dan jadikanlah kematianku sebagai tempat istirahatku dari segala kejahatan dan keburukan. “

Lantas, mengapa kita harus menyusahkan diri sendiri dan menyusahkan orang lain untuk menghafal doa-doa dengan redaksi buatan sendiri itu?

Suatu kali, saya pernah bertanya kepada seseorang, “Mengapa Anda tidak melaksanakan shalat?” Ia menjawab, “Karena aku tidak bisa berwudhu.” Aku kembali bertanya, “Apakah engkau tidak mengetahui bagaimana membasuh muka, kedua tangan, mengusap kepala, dan membasuh kedua kaki?” Ia menjawab, “Kalau itu, aku mengetahuinya, namun aku tidak hafal (do’a) apa yang harus dibaca pada setiap kali membasuh anggota wudhu itu.” Maksudnya, ia tidak mengetahui doa yang harus dibaca saat akan memulai berwudhu, misalnya doa, “Segala puji bagi Allah Yang telah menjadikan air sebagai media untuk menyucikan (diri) dan Islam sebagai cahaya.” Saat istinsyaaq ‘memasukkan air ke hidung’, “Ya Allah, rahmatilah aku dengan semerbak surga dan Engkau meridhaiku.” Saat membasuh muka, “Ya Allah, putihkanlah wajahku pada saat wajah-wajah (kalangan beriman) memutih dan wajah-wajah (kalangan kafir dan pembuat dosa) menghitam.” Saat membasuh dua tangan, “Ya Allah, berikanlah buku catatan amal perbuatanku ke tangan kananku, dan jadikanlah Nabi Muhammad sebagai pemberi syafaat dan penanggungku.” Dan, saat mengusap kepala, “Ya Allah, haramkanlah rambut dan kulitku dari api neraka.”

Oleh sebagian orang, setiap gerakan wudhu disertai doa tertentu sehingga rekan kita yang malang ini menyangka bahwa agar shalat dan wudhunya sah maka ia harus menghafal seluruh doa yang banyak itu, padahal ia tidak memiliki kemampuan untuk menghafal seluruh redaksi doa yang banyak itu. Mengapa hal ini harus terjadi?

Contoh yang lain adalah apa yang dinamakan oleh sebagian orang sebagai azan syar’i. Pada dasarnya, redaksi dan cara pelafalan azan mudah saja dilakukan, yaitu Allahu Akbar Allahu Akbar dan seterusnya. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengumandangkan azan seperti itu? Paling lama satu menit atau satu menit setengah. Namun, jika kita menguman-dangkan azan dengan cara yang biasa dilakukan pada saat ini, yaitu dengan membaca hayya ‘alash-shalaaaaaah, hayya ‘alal falaaaaaaah, berapa banyak waktu yang dibutuhkan untuk itu? Tentu akan memerlukan lebih dari lima menit.

Oleh mereka, kata “falah” harus dibaca lebih panjang dari kata “shalaah”. Demikian juga redaksi kedua harus dibaca lebih panjang dari redaksi pertama. Tidak hanya itu, mereka juga kemudian mengarang redaksi-redaksi shalawat kepada Nabi saw yang harus dibaca selepas mengumandangkan azan.

Wahai saudaraku seiman, Rabb kita mensyariatkan lafal-lafal azan ini dan mewahyukan bentuk lafal itu kepada Nabi-Nya melalui jalan mimpi yang ditetapkan oleh Nabi saw.. Hal ini dimaksudkan agar Allah SWT mempunyai peran tertentu dalam penentuan azan itu, demikian juga Nabi saw. mempunyai peran tersendiri. Lantas, mengapa Anda kemudian menambahkan redaksi shalawat dan kata-kata tambahan terhadap azan itu yang membuat bagian Nabi saw. dalam azan lebih besar dari bagian Rabb kita? Ini tidak sepatutnya terjadi.

Islam amat memerangi bid’ah agar manusia tidak memasukkan hal-hal baru yang mempersulit pelaksanaan agama, serta agar tidak menambahkan hal-hal yang membuat beban agama menjadi berlipat-lipat banyaknya daripada apa yang diturunkan oleh Allah SWT. Karena, hal itu akan membuat manusia menjadi berat untuk menjalankan perintah-perintah agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar